Kontroversi BK Batu Bara
Jumat, 13 September 2013 | 08:19
Kalangan pelaku industri batu bara sedang galau. Mereka
tengah cemas menunggu rencana pemerintah menaikkan besaran royalti dan
mengenakan bea keluar (BK) terhadap komoditas batu bara. Kebijakan yang
akan dieksekusi tahun depan tersebut bertujuan untuk menambah penerimaan
negara, mendorong industri bernilai tambah batu bara, serta menjamin
pasokan batu bara di dalam negeri.
Saat ini, royalti batubara ditetapkan sebesar 6,5 persen untuk kelompok pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan 13,5 persen untuk perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Rencananya, besaran royalti untuk IUP akan dinaikkan, sehingga tidak terlalu jauh berbeda dengan PKP2B. Sedangkan untuk pengenaan BK, pemerintah belum menetapkan mekanisme dan besarannya. Beleid untuk kebijakan tersebut tengah digodok.
Keruan saja pengusaha batu bara kelimpungan. Betapa tidak, saat ini industri batu bara di Tanah Air sedang dirundung masalah, terkait harga ekspor yang anjlok. Harga batu bara yang pernah mencapai di atas US$ 120 per ton, saat ini hanya tinggal sekitar US$ 70-an per ton. Perlambatan ekonomi global, khususnya Tiongkok dan India, selaku konsumen penting batu bara Indonesia, membuat permintaan batu bara melemah. Padahal, lebih dari 80 persen produksi batu bara nasional dijual ke pasar ekspor.
Tanpa kenaikan royalti dan pengenaan bea keluar pun, saat ini banyak perusahaan batu bara yang gulung tikar alias menghentikan produksi. Harga yang anjlok membuat sebagian perusahaan, khususnya skala kecil, tak sanggup menutup biaya operasional.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) juga mengingatkan pemerintah bahwa rencana kenaikan royalti dan pengenaan BK bisa berdampak negatif. Yang paling utama adalah potensi maraknya penambangan batu bara ilegal (illegal mining). Dalam kondisi harga yang rendah, kenaikan royalti dan pengenaan BK justru membuat perusahaan mencari-cari akal untuk menghindarinya.
Maraknya penambangan batu bara ilegal tercermin pada perbedaan data yang signifikan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Data BPS menyebutkan total produksi batu bara nasional pada 2011 sebesar 452 juta ton, sedangkan Kementerian ESDM hanya 397 juta ton, atau ada perbedaan 55 juta ton.
Data batu bara yang tidak terverifikasi tersebut membuat negara berpotensi kehilangan penerimaan sekitar Rp 3,4-5,5 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menyebut kerugian negara di sektor batu bara mencapai Rp 7 triliun. Artinya, apabila kenaikan royalti dan pengenaan BK jadi diberlakukan tahun depan, boleh jadi potensi kehilangan penerimaan negara mencapai puluhan triliun rupiah.
Itulah sebabnya, pemerintah perlu mengkaji ulang rencana penaikan besaran royalti dan pengenaan BK. Dalam kondisi harga yang terpuruk, kebijakan ini bakal semakin membuat banyak perusahaan batu bara kolaps.
Salah satu filosofi pengenaan bea keluar adalah untuk menjaga pasokan dalam negeri. Padahal, untuk batu bara, sudah ada kebijakan berupa domestic market obligation (DMO). Lagi pula, kebutuhan domestik saat ini tak sampai 20 persen dari produksi nasional, sehingga pasokan pasti akan terjamin.
Perlu diingat bahwa ekspor batu bara memberikan kontribusi devisa senilai US$ 26,4 miliar tahun lalu. Batu bara merupakan benteng utama penyelamat defisit neraca perdagangan yang kini menjadi persoalan ekonomi terbesar negeri ini. Bila tidak ada peran ekspor komoditas, terutama batu bara, defisit perdagangan tentu akan lebih berdarah-darah.
Kita setuju bahwa Indonesia harus mendorong hilirisasi, tak terkecuali di sektor pertambangan, termasuk batu bara. Sebab, ekspor bahan mentah sangat sensitif terhadap perubahan harga. Dengan hilirisasi, produk yang dihasilkan adalah barang bernilai tambah dengan harga yang bisa berlipat-lipat bila dibanding barang mentah. Namun, kondisi saat ini kurang tepat jika industri batu bara dikenai tambahan beban dengan kenaikan royalti dan pengenaan BK.
Terlebih lagi, sektor batu bara memberi kontribusi ke negara sekitar Rp 50 triliun setiap tahun dalam bentuk royalti dan berbagai jenis pajak. Industri batu bara menjadi tempat bergantung satu juta pekerja, dan telah menyalurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) senilai Rp 2 triliun.
Jangan sampai hanya demi mengejar tambahan penerimaan negara Rp 2-3 triliun dengan kenaikan royalti dan pengenaan BK, neraca perdagangan semakin terancam. Kita tahu, defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan adalah persoalan paling serius yang menuntut penanganan segera, karena memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
Saat ini, royalti batubara ditetapkan sebesar 6,5 persen untuk kelompok pemegang izin usaha pertambangan (IUP) dan 13,5 persen untuk perjanjian karya pengusahaan pertambangan batu bara (PKP2B). Rencananya, besaran royalti untuk IUP akan dinaikkan, sehingga tidak terlalu jauh berbeda dengan PKP2B. Sedangkan untuk pengenaan BK, pemerintah belum menetapkan mekanisme dan besarannya. Beleid untuk kebijakan tersebut tengah digodok.
Keruan saja pengusaha batu bara kelimpungan. Betapa tidak, saat ini industri batu bara di Tanah Air sedang dirundung masalah, terkait harga ekspor yang anjlok. Harga batu bara yang pernah mencapai di atas US$ 120 per ton, saat ini hanya tinggal sekitar US$ 70-an per ton. Perlambatan ekonomi global, khususnya Tiongkok dan India, selaku konsumen penting batu bara Indonesia, membuat permintaan batu bara melemah. Padahal, lebih dari 80 persen produksi batu bara nasional dijual ke pasar ekspor.
Tanpa kenaikan royalti dan pengenaan bea keluar pun, saat ini banyak perusahaan batu bara yang gulung tikar alias menghentikan produksi. Harga yang anjlok membuat sebagian perusahaan, khususnya skala kecil, tak sanggup menutup biaya operasional.
Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) juga mengingatkan pemerintah bahwa rencana kenaikan royalti dan pengenaan BK bisa berdampak negatif. Yang paling utama adalah potensi maraknya penambangan batu bara ilegal (illegal mining). Dalam kondisi harga yang rendah, kenaikan royalti dan pengenaan BK justru membuat perusahaan mencari-cari akal untuk menghindarinya.
Maraknya penambangan batu bara ilegal tercermin pada perbedaan data yang signifikan antara Badan Pusat Statistik (BPS) dan Kementerian Energi Sumber Daya Mineral (ESDM). Data BPS menyebutkan total produksi batu bara nasional pada 2011 sebesar 452 juta ton, sedangkan Kementerian ESDM hanya 397 juta ton, atau ada perbedaan 55 juta ton.
Data batu bara yang tidak terverifikasi tersebut membuat negara berpotensi kehilangan penerimaan sekitar Rp 3,4-5,5 triliun. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bahkan menyebut kerugian negara di sektor batu bara mencapai Rp 7 triliun. Artinya, apabila kenaikan royalti dan pengenaan BK jadi diberlakukan tahun depan, boleh jadi potensi kehilangan penerimaan negara mencapai puluhan triliun rupiah.
Itulah sebabnya, pemerintah perlu mengkaji ulang rencana penaikan besaran royalti dan pengenaan BK. Dalam kondisi harga yang terpuruk, kebijakan ini bakal semakin membuat banyak perusahaan batu bara kolaps.
Salah satu filosofi pengenaan bea keluar adalah untuk menjaga pasokan dalam negeri. Padahal, untuk batu bara, sudah ada kebijakan berupa domestic market obligation (DMO). Lagi pula, kebutuhan domestik saat ini tak sampai 20 persen dari produksi nasional, sehingga pasokan pasti akan terjamin.
Perlu diingat bahwa ekspor batu bara memberikan kontribusi devisa senilai US$ 26,4 miliar tahun lalu. Batu bara merupakan benteng utama penyelamat defisit neraca perdagangan yang kini menjadi persoalan ekonomi terbesar negeri ini. Bila tidak ada peran ekspor komoditas, terutama batu bara, defisit perdagangan tentu akan lebih berdarah-darah.
Kita setuju bahwa Indonesia harus mendorong hilirisasi, tak terkecuali di sektor pertambangan, termasuk batu bara. Sebab, ekspor bahan mentah sangat sensitif terhadap perubahan harga. Dengan hilirisasi, produk yang dihasilkan adalah barang bernilai tambah dengan harga yang bisa berlipat-lipat bila dibanding barang mentah. Namun, kondisi saat ini kurang tepat jika industri batu bara dikenai tambahan beban dengan kenaikan royalti dan pengenaan BK.
Terlebih lagi, sektor batu bara memberi kontribusi ke negara sekitar Rp 50 triliun setiap tahun dalam bentuk royalti dan berbagai jenis pajak. Industri batu bara menjadi tempat bergantung satu juta pekerja, dan telah menyalurkan dana tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) senilai Rp 2 triliun.
Jangan sampai hanya demi mengejar tambahan penerimaan negara Rp 2-3 triliun dengan kenaikan royalti dan pengenaan BK, neraca perdagangan semakin terancam. Kita tahu, defisit neraca perdagangan dan defisit transaksi berjalan adalah persoalan paling serius yang menuntut penanganan segera, karena memicu pelemahan nilai tukar rupiah.
No comments:
Post a Comment