Monday, July 15, 2013

Batubara Tanjung Enim, Dari kolonialisasi Hingga Nasionalisasi

Batubara Tanjung Enim, Dari kolonialisasi Hingga Nasionalisasi

Minggu, 7 April 2013 | 17:55 WIB   ·   0 Komentar

Kawasan tambang batubara Bukit Asam Tanjung Enim, Sumatera Selatan
Kawasan tambang batubara Bukit Asam Tanjung Enim, Sumatera Selatan
Kunjungan penulis ke areal tambang batubara Tanjung Enim selama tiga hari membuka tabir sejarah yang cukup menarik. Hal ini dikarenakan tambang batubara Tanjung Enim merupakan salah satu tambang batubara tertua di Indonesia.
Sejarah mencatat, tambang batubara yang secara administratif termasuk dalam wilayah Kabupaten Muara Enim, Sumatera Selatan, ini telah beroperasi sejak awal abad 20. Dan sejak itu pula industri pertambangan Tanjung Enim turut melewati dinamika sejarah bangsa, yang juga mempengaruhi corak pengelolaan industri ‘emas hitam’ itu.
Dari Era Kolonial
Produksi sumber daya batubara di Tanjung Enim berawal dari temuan pihak kolonial Belanda pada pertengahan abad 19. Dalam sebuah dokumen pemerintah kolonial Belanda yang diterbitkan pada tahun 1859 disebutkan bahwa di sebuah daerah Karesidenan Basemah (atau Pagaralam kini) yang berada di tepian lintasan sungai Enim, ada masyarakat yang menggunakan bebatuan hitam sebagai perlengkapan rumah tangganya guna memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Bebatuan hitam ini bisa diperoleh dari dalam tanah dan tepian sungai Enim.
Laporan dokumen ini ditindak lanjuti dengan kegiatan eksplorasi yang dimulai pada tahun 1895. Kegiatan eksplorasi ini dilakukan oleh sebuah kongsi dagang swasta lokal bernama Lematang Maatschappij. Namun, setelah eksplorasi itu selesai, pada tahun 1919 Pemerintah Kolonial Belanda mengambil alih areal tambang dari kongsi swasta tersebut.
Maka dimulailah pengelolaan tambang batubara Tanjung Enim oleh pemerintah Belanda dengan metode penambangan terbuka (open pit mining) di wilayah operasi pertama, yang dinamakan Tambang Air Laya (TAL). Kemudian, di tahun 1923 tambang Tanjung Enim beroperasi dengan metode penambangan bawah tanah (underground mining) hingga tahun 1940.
Setelah produksi batubara dikontrol secara total oleh pemerintah Hindia-Belanda, ratusan masyarakat Eropa (terutama Belanda) ramai-ramai bermigrasi ke Tanjung Enim untuk menetap dan bekerja di wilayah itu. Sebagian besar dari mereka berprofesi sebagai teknisi di areal tambang. Sala satu teknokrat Belanda yang terkenal bernama Vulker, yang juga perancang Kantor Pengelola Tambang Hindia Belanda. Ia ditugaskan khusus oleh Kantor Jawatan Sipil Belanda di Batavia untuk membangun infrastruktur dan sarana penunjang bagi kegiatan warga Belanda di Tanjung Enim.
Tak berselang lama dari migrasi warga Eropa, Pemerintah Kolonial Belanda kemudian mendatangkan ratusan tenaga kerja dari Pulau Jawa untuk dimanfaatkan tenaganya sebagai buruh di tambang batubara Tanjung Enim. Gelombang kedatangan para ‘calon’ buruh dari Jawa itu tiba di Stasiun Tanjung Enim pada awal 1920-an. Mereka kemudian dikarantina di sebuah barak yang dinamakan “Karantine” atau Kampung Karang Tinah.
Beberapa tahun kemudian, generasi kedua dari kaum buruh asal Jawa ini berdomisili di daerah Talang Jawa yang berada dekat dengan pemukiman warga kulit putih. Pemukiman warga Eropa tersebut berada di sekitar Jalan Jurang.
Perkembangan industri tambang Tanjung Enim ternyata menjadi ‘magnet’ bagi para perantau terutama dari Jawa Tengah. Migrasi buruh besar-besaran kembali mendatangi Tanjung Enim antara tahun 1925-1940. Sebagian besar para buruh pendatang itu tidak diorganisir oleh Pemerintah Kolonial.
Gelombang migrasi ini kemudian menempati wilayah Karang Rejo yang terletak di sebelah barat areal tambang dan daerah Tegal Rejo yang terletak di sebelah timur lokasi penampungan batu bara. Banyaknya para buruh pendatang dari Jawa ini juga berpengaruh pada corak kultural masyarakat Tanjung Enim puluhan tahun kemudian. Salah satunya tampak pada bahasa yang digunakan masyarakat Tanjung Enim dan juga Palembang pada umumnya, yang merupakan kombinasi dari dialek Melayu, Minang dan Jawa.
Pergolakan kaum buruh juga sempat terjadi di tambang Tanjung Enim pada tahun 1930. Ketika itu terjadi kerusuhan yang digerakkan kalangan buruh akibat minimnya kesejahteraan sebagai dampak dari krisis ekonomi dunia (Malaise). Pimpinan Administrasi Kolonial Tanjung Enim menindak secara represif kerusuhan itu dengan memenjarakan para buruh di sebuah bangunan yang ada di bagian utara barak Karantine. Bangunan ini bernama ‘Obach’ yang berarti lembaga pemasyarakatan. Masyarakat Tanjung Enim kemudian menamakan bangunan penjara itu “Bedeng Obak”.
Kemerdekaan Dan Nasionalisasi
Angin kemerdekaan Indonesia yang di proklamirkan tahun 1945 juga berhembus kencang di tambang batubara Tanjung Enim, Dipelopori oleh kaum buruh dan karyawan warga Indonesia, perjuangan menuntut perubahan status tambang Tanjung Enim dari tambang milik kolonial menjadi pertambangan nasional pun gencar dilakukan.
Akhirnya pada tahun 1950, Pemerintah Bung Karno pun menasionalisasi tambang batubara Tanjung Enim yang sebelumnya dimiliki oleh pemerintah kolonial dan menyerahkan pengelolaan tambang itu kepada perusahaan milik negara (BUMN) yang bernama Perusahaan Negara Tambang Arang Bukit Asam (PN TABA).
PN TABA inilah yang di tahun 1981 berubah status menjadi Perseroan Terbatas dengan nama baru, PT Tambang Batubara Bukit Asam (PTBA). Pada tahun 1990, Pemerintah Orde Baru menetapkan penggabungan Perum Tambang Batubara dengan PTBA guna mempercepat pertumbuhan produksi batubara perseroan.
Kini, tambang batubara Tanjung Enim yang dikuasai PTBA tercatat memiliki sumber daya sebesar 6,36 miliar ton serta reserve 1,59 miliar ton batubara. Sementara kapasitas produksi tambang ini sebesar 20 juta ton per tahunnya (Corporate Secretary PTBA, 2012).
Tahun lalu, PTBA mengalokasikan 60% dari produksi batubara Tanjung Enim untuk kebutuhan nasional, khususnya bagi kebutuhan akan pasokan bahan bakar pembangkit listrik (PLTU). Hal ini agak berbeda dari perusahaan tambang batubara swasta yang mengekspor sebagian besar produksi batubaranya ke pasar internasional.
Orientasi PTBA selaku BUMN ‘penguasa’ batubara Tanjung Enim untuk memenuhi kebutuhan batubara domestik tetap harus dipertahankan. Ini bukan sekedar bagian dari tanggung jawab perseroan terhadap bangsa, melainkan juga pelaksanaan pasal 33 Undang-undang Dasar 1945 yang mengamanatkan penguasaan sumber alam strategis oleh negara serta penggunaannya bagi kemakmuran rakyat.
Hiski DarmayanaJurnalis Pertambangan dan kader Gerakan Mahasiswa Nasional Indonesia (GMNI)


Sumber Artikel: http://www.berdikarionline.com/opini/20130407/batubara-tanjung-enim-dari-kolonialisasi-hingga-nasionalisasi.html#ixzz2ZAxtzDL6
Follow us: @berdikarionline on Twitter | berdikarionlinedotcom on Facebook

No comments:

Post a Comment